Rabu, 23 Juli 2008

Tugas 1.

Cabang-cabang Ilmu Psikologi


1. Psikologi sosial


Serge moscovici seorang psikolog sosial perancis menyatakan bahwa psikologi sosial adalah jembatan diantara cabang-cabang pengetahuan sosial lainnya. Sebab psikologi sosial mengakui pentingnya memandang individu dalam suatu system sosial yang lebih luas dan karena itu menarik kedalamnya sosiologi, ilmu politik, antropologi, dan ekonomi. Psikologi sosial mengakui aktifitas manusia yang rentangnya luas dan pengaruh budaya serta perilaku manusia dimasa lampau. Dalam mengambil fokus ini psikologi sosial beririsan dengan filsafat, sejarah, seni dan musik. Selain itu psikologi sosial memiliki perspektif luas dengan berusaha memahami relevansi dari proses internal dari aktivitas manusia terhadap perilaku sosial. Dalam hal ini psikologi sosial misalnya mungkin mempertanyakan bagaimana keadaan orang setelah menyaksikan suatu kejadian menakutkan akan mempengaruhi arousal secara fisiologis, seperti tekanan darah dan serangan jantung. Karena perspektif ini, maka dibahas tentang persepsi, kognisi dan respon fisiologis.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa cirikhas dari psikologi sosial adalah memfokuskan pada individu daripada kelompok atau unit.sementara ahli ilmu sosial yang lain mempergunakan analisis kemasyarakatan yakni mempergunakan faktor-faktor secara luas untuk menjelaskan perilaku sosial. Misalnya sosiologi lebih tertarik pada struktur dan fungsi kelompok. Kelompok itu dapat kecil (keluarga), atau moderat (perkumpulan mahasiswa, klub sepakbola), atau luas (suatu masyarakat).

Sementara bidang studi lain dari psikologi yang tertarik pada keunikan dari perilaku individu adalah psikologi kerpibadian. Pendekatan psikologi kepribadian adalah membandingkan masing-masing orang. Sementara pendekatan psikologi sosial adalah mengidentifikasikan respon (cara bereaksi) dari sebagian besar atau kebanyakan orang dalam suatu situasi dan meneliti bagaimana situasi itu mempengaruhi respon tersebut.

Marilah kita bandingkan ketiga pendekatan tersebut dengan menggunakan contoh yang spesifik untuk menganalisis terjadinya tindak kekerasan. Pendekatan kemasyarakatan cenderung menunjukkan adanya kaitan antara tingkat kejahatan yang tinggi dengan kemiskinan, urbanisasi yang cepat, dan industrialisasi dalam suatu masyarakat. Untuk membuktikan kesimpulan ini, mereka menunjukkan beberapa fakta tertentu : orang yang miskin lebih sering melakukan kejahatan; kejahatan lebih banyak timbul di daerah kumuh ketimbang di lingkungan elit; kriminalitas meningkat pada masa resesi ekonomi dan menurun di saat kondisi ekonomi membaik.

Sementara pendekatan individual dalam bidang psikologi yang lain (psikologi kepribadian, perkembangan dan klinis) cenderung menjelaskan kriminalitas berdasarkan karakteristik dan pengalaman criminal individu yang unik. Pendekatan ini akan mempelajari perbedaan individual yang menyebabkan sebagian orang melakukan tindak criminal, yang tidak dilakukan oleh orang lain dengan latar belakang yang sama, untuk itu, biasanya mereka memusatkan pada latar belakang individu, misalnya bagaimana perkembangan orang itu? Disiplin apakah yang diterapkan orang tuanya? Mungkin orang tua yang kasar cenderung menumbuhkan anak belajar berperilaku kasar?. Penelitian dapat dilakukan dengan membandingkan latar belakang keluarga anak yang nakal dengan yang tidak nakal. Jadi analisis semacam ini memusatkan pada bagaimana dalam situasi yang sama orang dapat melakukan perilaku yang berbeda karena pengalaman masa lalu yang unik.

Sebaliknya psikologi sosial lebih berpusat pada usaha memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi. Psikologi sosial mempelajari perasaan subyektif yang biasanya muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilaku. Situasi interpersonal apa yang menimbulkan perasaan marah, dan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan munculnya perilaku agresi? Sebagai contoh, salah satu prinsip dasar psikologi sosial adalah bahwa situasi frustasi akan membuat orang marah, yang memperbesar kemungkinan timbulnya mereka melakukan perilaku agresi. Akibat situasi yang menimbulkan frustasi ini merupakan penjelasan alternative mengenai sebab timbulnya kejahatan. Hubungan itu tidak hanya menjelaskan mengapa perilaku agresif terjadi dalam situasi tertentu, tetapi juga menjelaskan mengapa faktor ekonomi dan kemasyarakatan menimbulkan kejahatan. Misalnya, orang miskin berduyun-duyun dating ke kota akan mengalami frustasi; mereka ternyata sulit mencari pekerjaan, mereka tidka dapat membeli apa yang mereka inginkan, tidak dapat hidup layak seperti yang mereka bayangkan. Dan frustasi ini merupakan sebab utama munculnya sebagian besar perilaku criminal. Psikologi sosial biasanya juga menyangkut perasaan-perasaan subyektif yang ditimbulkan situasi interpersonal, yang kemudian mempengaruhi perilaku individu. Dalam contoh ini situasi frustasi menimbulkan kemarahan, yang kemudian menyebabkan timbulnya perilaku agresif.

Kesimpulan : pada dasarnya psikologi sosial sangat berhubungan dengan ilmu sosial lain nya, dimana psikologi sosial merupakan bagian dari semua cabang ilmu sosial lainnya!


2. Psikologi Industri dan Organisasi

Psikologi dalam pengertian umum adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah-laku manusia. Bagi orang awam seringkali Psikologi disebut dengan ilmu jiwa karena berhubungan dengan hal-hal psikologis/kejiwaan. Sama seperti ilmu-ilmu yang lain, maka Psikologi memiliki beberapa sub bidang seperti Psikologi Pendidikan, Psikologi Klinis, Psikologi Sosial, Psikologi Perkembangan, Psikologi Lintas Budaya, Psikologi Industri & Organisasi, Psikologi Lingkungan, Psikologi Olahraga, dan Psikologi Anak & Remaja. Dari beberapa sub bidang tersebut Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) merupakan bidang khusus yang memfokuskan perhatian pada penerapan-penerapan ilmu Psikologi bagi masalah-masalah individu dalam perusahaan yang secara khusus menyangkut penggunaan sumber daya manusia dan perilaku organisasi.

Bagaimana Psikologi Berperan

Secara umum berbagai teori, metode dan pendekatan Psikologi dapat dimanfaatkan di berbagai bidang dalam perusahaan. Salah satu hasil riset yang dilakukan terhadap para manager HRD menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyebutkan Psikologi Industri dan Organisasi memberikan peran penting pada area-area seperti pengembangan manajemen SDM (rekrutmen, seleksi dan penempatan, pelatihan dan pengembangan), motivasi kerja, moral dan kepuasan kerja. 30% lagi memandang hubungan industrial sebagai area kontribusi dan yang lainnya menyebutkan peran penting PIO pada disain struktur organisasi dan desain pekerjaan.

Hasil riset tersebut di atas mungkin hanya menggambarkan sebagian besar area dimana Psikologi dapat berperan. Satu hal yang belum disebutkan di atas misalnya peran para psikolog dalam menangani individu-individu yang mengalami masalah-masalah psikologis melalui employees assistant program (EAP) atau pun klinik-klinik yang dimiliki oleh perusahaan. Penanganan individu yang mengalami masalah psikologis sangat besar pengaruhnya terhadap produktivitas dan kinerja perusahaan. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat bahwa perusahaan digerakan oleh individu-individu yang saling berinteraksi di dalamnya.

Dalam kenyataan sehari-hari banyak faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi seseorang dalam bekerja. Faktor-faktor tersebut seringkali tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan lain di luar psikologi. Contoh: dalam suatu team yang terdiri dari para pakar yang sangat genius seringkali justru tidak menghasilkan performance yang baik dibandingkan dengan sebuah team yang terdiri dari orang-orang yang berkategori biasa-biasa saja.

Bagaimana Psikologi berperan dalam perusahaan, menurut John Miner dalam bukunya Industrial-Organizational Psychology (1992), dapat dirumuskan dalam 4 bagian:

  • Terlibat dalam proses input : melakukan rekrutmen, seleksi, dan penempatan karyawan.

  • Berfungsi sebagai mediator dalam hal-hal yang berorientasi pada produktivitas: melakukan pelatihan dan pengembangan, menciptakan manajemen keamanan kerja dan teknik-teknik pengawasan kinerja, meningkatkan motivasi dan moral kerja karyawan, menentukan sikap-sikap kerja yang baik dan mendorong munculnya kreativitas karyawan..

  • Berfungsi sebagai mediator dalam hal-hal yang berorientasi pada pemeliharaan: melakukan hubungan industrial (pengusaha-buruh-pemerintah), memastikan komunikasi internal perusahaan berlangsung dengan baik, ikut terlibat secara aktif dalam penentuan gaji pegawai dan bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya, pelayanan berupa bimbingan, konseling dan therapi bagi karyawan-karyawan yang mengalami masalah-masalah psikologis

  • Terlibat dalam proses output: melakukan penilaian kinerja, mengukur produktivitas perusahaan, mengevaluasi jabatan dan kinerja karyawan.

Dengan melihat peran tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa Psikologi berperan dalam semua aspek-aspek individual yang berhubungan dengan pekerjaan dan organisasi. Peran tersebut diatas juga sekaligus menepis anggapan yang mengatakan bahwa para Psikolog yang direkrut oleh perusahaan tidak lebih dari "tukang test dan Interviewer". Meskipun dalam kenyataannya masih sering ditemui bahwa para Psikolog yang ditempatkan di HRD atau Personalia hanya dapat menjalankan fungsinya sebagai recruiter atau petugas yang membayar gaji pegawai semata. Bagaimana para Psikolog memaksimalkan perannya dalam perusahaan merupakan tantangan bagi para profesional di bidang Psikologi untuk bersaing dengan para lulusan dari bidang-bidang ilmu lain seperti Ekonomi, Hukum, dll.

3. Psikologi Pendidikan

1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran

Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :

  1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan

  2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.

  3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.

  4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.

  5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.

  6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.

  7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.

  8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.

  9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.

  10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.

  11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.

  12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.

  13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian

Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.







Tugas 1.

Tokoh Psikologi Modern Albert Bandura

I. LATAR BELAKANG TEORI

Bandura menempuh pendidikan kesarjanaannya di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan mencapai gelar Ph.D. pada tahun 1952. Setelah menempuh pelatihan post-doktoral di bidang klinis selama satu tahun, pada tahun 1953 Bandura bekerja di Universitas Stanford, di mana kini ia menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Ia pernah bekerja sebagai Ketua Jurusan Psikologi Stanford dan pada tahun 1974 terpilih menjadi Ketua American Psychological Association.

Penelitian Bandura mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas. Penelitian ini meliputi studi tentang imitasi dan identifikasi (Bandura, 1962; Bandura dan Huston, 1961; Bandura, Ross, dan Ross, 1961 1963a dan b), Perkuat Sosial (Bandura dan McDonald, 1963), Perkuatan Diri dan Pemonitoran (Bandura dan Kupers, 1964), serta Perubahan Tingkah Laku melalui pemodelan (Bandura, Blanchart, dan Ritter, 1969).

Bersama Richard Wakters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolescent Aggression (1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan dimana prinsip-prinsip belajar sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok remaja pria delinkuen dari kelas menengah, disusul dengan Social Learning and personality development (1963), sebuah buku dimana ia dan Walters memaparkan prinsip-prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti yang menjadi dasar bagi teori tersebut. Pada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku dan pada tahun 1973, Aggression: A social learning analysis. Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977), ia telah “berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis pikiran dan tingkah laku manusia”.

Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar berpangkal pada dalili bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke dalam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.

II. ESENSI TEORI

Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar sosial cukup menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomea penting yang diabaikan atau ditolak olrh paradigma behaviorisme.

Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri; sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi.

Kedua, bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi satu orang dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.
Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep :

  1. Determinis Resiprokal (reciprocal determinism): pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrl lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling-determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.

  2. Tanpa Renforsemen (beyond reinforcement), Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada renforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada renforsemen yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.

  3. Kognisi dan Regulasi diri (Self-regulation/cognition): Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkahlakunya sendiri.

Tugas 1.

Psikologi Sebagai Ilmu Biososial


Kondisi bangsa Indonesia beberapa tahun belakangan ini, baik di tingkat pusat maupun lokal, sedang dilanda perubahan sosial yang menakjubkan (amazing change). Semua lini kehidupan bangsa, baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, mengalami perubahan signifikan yang pada intinya disebabkan oleh bergulirnya demokratisasi di bidang-bidang itu.

Secara akademik perubahan-perubahan sosial yang menakjubkan ke arah demokrasi semestinya dapat menjadi lahan (subject matter) yang subur bagi pengujian teori-teori yang selama ini menjadi acuan para ilmuwan sosial yang tinggal di perguruan tinggi, elit peneliti yang bergelut di pusat-pusat kajian sosial, atau para peminat ilmu sosial volunteer. Namun, perubahan sosial yang menakjubkan itu justru lambat laun mengarah pada kondisi yang kian tak menentu—menuju defisit sosial. Padahal kita tak bisa lagi menghitung berapa banyak penelitian, seminar, yang diadakan sebagai respon terhadap perubahan sosial tersebut, dan sudah tentu diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial itu sendiri. Telah begitu banyak ide-ide yang diproduksi, namun begitu sedikit hasil yang didapat.

Sebagian ahli berpendapat (terutama mereka yang memiliki latar belakang ilmu sosial kritis), kurang maksimalnya peran ilmu sosial di Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial di Indonesia bersumber dari mindset dan paradigma keilmuan yang tak peka terhadap dinamika realitas. Paradigma positivisme abad ke-19 masih menjiwai pengembangan ilmu-ilmu sosial hingga hari ini, baik pada tataran perspektif maupun metodologis. Teori-teori diberhalakan dan metodologi disakralkan. Upaya-upaya penyelesaian masalah sosial tidak diberangkatkan dari refleksi mendalam atas masalah itu sendiri, tetapi justru diringkus dan ditundukkan dengan perspektif teoritik dan metodologi tertentu. Ironisnya, kepasifan ilmu sosial itu justru dianggap sebagai bentuk ideal dari peran yang semestinya dijalanakan ilmu sosial itu sendiri. Padahal, kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, watak transformatf ilmu sosial akan menguap dan sudah bisa dipastikan dirinya tidak lagi mampu berperan sebagai problem solver.

Menyitir pendapat Mestika Zeid, sejarawan yang terkenal cukup kritis, mangkirnya ilmu sosial dalam urun rembug penyelesaian masalah-masalah sosial di Indonesia lebih dikarenakan paradigma yang digunakannya sudah kelewat uzur. Asal-usul dan perkembangan ilmu sosial modern di Indonesia sebetulnya tidak jauh lebih muda jika dibandingkan dengan ilmu eksakta, terutama jika dilihat dari sejarah institusi di mana ilmu pengetahuan itu dikonstruksikan dan disebarluaskan.

Adalah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wtenschappen, yaitu semacam asosiasi seni dan ilmu pengetahuan tertua yang didirikan kolonial Belanda di Batavia pada 24 April 1778 biasanya dirujuk sebagai cikal-bakal lahirnya kajian ilmu sosial di Hindia-Belanda yang kemudian melahirkan apa yang disebut indologie (ilmu yang mempelajari kehidupan sosial masyarakat jajahan). Di lembaga ini beberapa cendikiawan Belanda berhimpun untuk mengadakan tukar-menukar gagasan dalam bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan guna menghasilkan karya-karya praktis yang segera dapat diraih manfaatnya bagi masyarakat. Selanjutnya, riset-riset intensif dilakukan pada abad ke-19, di samping menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah di bidangnya.

Namun dalam perkembangannya, telah terjadi proses belajar yang salah dari bangsa Indonesia dalam memposisikan warisan keilmuan penjajah yang notabene digunakan untuk menyumbat daya kritis masyarakat tersebut. Warisan keilmuan penjajah itu justru disucikan sampai sekarang. Ilmu sosial yang berkembang di Indonesia kemudian mengisolasi diri dan tidak memiliki keberpihakan pada masyarakat, sehingga problem-problem kemasyarakatan seperti kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan lain-lain luput dari perhatian ilmu sosial.

Melengkapi pernyataan di atas, kondisi yang turut melenyapkan kritisisme dalam kajian ilmu sosial di Indonesia tidak lain adalah tradisi keilmuan Barat, hasil wacana methodenstreit di Eropa abad ke-19, yang masuk ke Indonesia melalui jaringan-jaringan akademik dan politik Amerika Serikat setelah kemerdekaan, yang secara arbriter disebut ilmu sosial developmentalism. Baik indologie (atau proto-ilmu sosial) maupun ilmu sosial developmentalism sejak semula mirip dengan apa yang disebut Ignas Kleden sebagai “ilmu milik negara” karena wataknya yang sangat bersifat negara-sentris. Jika yang pertama adalah untuk kepentingan administrasi negara kolonial, maka yang kedua adalah negara merdeka yang sedang giat melakukan pembangunan.

Peran ilmu sosial

Ilmu sosial di Indonesia sejauh ini terkesan hanya menunjukkan peran normatifnya saja. Artinya, ilmu sosial itu sedapat mungkin harus memosisikan dirinya secara netral di tengah hiruk-pikuk masalah sosial-kemasyarakatan. Kalaupun harus terlibat dalam proses memahami masalah-masalah sosial tersebut, itu tidak berarti ilmu sosial dapat segera beranjak dari kecenderungannya yang hanya mengidentifikasi dan mendeskripsikan realitas an sich. Padahal, dalam kondisi masyarakat yang sedang dirundung keterpurukan seperti sekarang ini, ilmu sosial seharusnya mampu menunjukkan fungsi praktis-transformatifnya, yaitu bagaimana ia mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial seperti konflik sosial, krisis ekonomi, kemiskinan, kepadatan penduduk, dan sebagainya.

Dalam buku masyhur yang berjudul Knowledge and Human Interest (1972), filosof Jerman, Jurgen Habermas, menyatakan bahwa pengetahuan yang diproduksi manusia selalu berhubungan dengan epistemologi tertentu—atau semacam cara berpikir yang terkait dengan kegiatan memahami dunia yang syarat akan kepentingan. Dengan demikian, kalaupun epistemologi ilmu sosial yang terlanjur berkembang sampai sekarang ini masih didominasi oleh paradigma positivisme, itu tidak berarti ilmu sosial tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan corak epistemologi lainnya, sebut saja yang bercorak transformatif-emansipatoris—asalkan kepentingan yang dipanggul oleh ilmu sosial senantiasa terkait dengan agenda-agenda pemecahan masalah sosial-kemasyarakatan. Tentang epistemologi yang bercorak transformatif-emansipatoris sepertinya tidak dapat ditawar-tawar lagi karena dapat melahirkan corak pengetahuan yang kritis-reflektif. Pengetahuan kritis-reflektif yang dijiwai hasrat emansipatoris akan memampukan manusia untuk menelanjangi selubung penindasan, baik yang bersifat fisik, kesadaran maupun struktural, sehingga dia sadar betul tentang kebutuhan dan tata-dunia yang adil baginya.

Melanjutkan logika Habermas, semestinya spirit pengembangan ilmu sosial di Indonesia dilandasi oleh corak epistemologi yang kritis sehingga produk ilmu yang dihasilkannya bersifat emansipatoris dan peka realitas—terlebih lagi dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sampai sekarang ini masih kerap dijumpai praktek-praktek penindasan, baik yang vulgar maupun terselubung. Untuk itu, bukan sekedar ilmu sosial yang mampu mendiskripsikan fakta-fakta secara detail saja yang dibutuhkan masyarakat Indoensia, tetapi ilmu sosial yang mampu membimbing masyarakat untuk segera bangkit dari jurang keterpurukan.

Jauh-jauh hari, Bung Hatta sebenarnya telah mewanti-wanti kita semua dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) pada tahun 1956, bahwa tugas ilmu sosial adalah ikut memikirkan bagaimana mestinya keadilan sosial itu diwujudkan, dan juga menggulirkan wacana kritis (critical discourse) agar masyarakat terberdayakan. Setelah sekian lama dilupakan oleh para ilmuwan sosial Indonesia, pesan bung Hatta tersebut seolah-olah menemukan momentumnya kembali, terlebih lagi dalam kondisi bangsa yang karut-marut seperti sekarang ini.

Dalam tataran aksi, wacana ilmu sosial transformatif di atas harus mampu diterjemahkan dalam perangkat metodologi yang juga berpihak pada masyarakat. Logika metodologi yang cenderung berpuas diri setelah menyampaikan fakta sebagaimana adanya tanpa memberikan jalan pemecahan sudah saatnya ditinggalkan. Membangun metodologi yang mampu menyajikan hasil-hasil penelitian yang dapat dimengerti oleh masyarakat adalah tugas ilmuwan sosial yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dengan demikian, haram hukumnya menutup mata bagi para ilmuwan sosial Indonesia di hadapan masalah-masalah sosial yang semakian bejibun dari ke hari. Seorang ilmuwan sudah sepatutnya selalu memicingkan mata dan mengernyitkan dahi ketika konflik sosial, krisis ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, juga kemiskinan, masih bercokol kuat di bumi Indonesia.