Rabu, 23 Juli 2008

Tugas 1.

Psikologi Sebagai Ilmu Biososial


Kondisi bangsa Indonesia beberapa tahun belakangan ini, baik di tingkat pusat maupun lokal, sedang dilanda perubahan sosial yang menakjubkan (amazing change). Semua lini kehidupan bangsa, baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, mengalami perubahan signifikan yang pada intinya disebabkan oleh bergulirnya demokratisasi di bidang-bidang itu.

Secara akademik perubahan-perubahan sosial yang menakjubkan ke arah demokrasi semestinya dapat menjadi lahan (subject matter) yang subur bagi pengujian teori-teori yang selama ini menjadi acuan para ilmuwan sosial yang tinggal di perguruan tinggi, elit peneliti yang bergelut di pusat-pusat kajian sosial, atau para peminat ilmu sosial volunteer. Namun, perubahan sosial yang menakjubkan itu justru lambat laun mengarah pada kondisi yang kian tak menentu—menuju defisit sosial. Padahal kita tak bisa lagi menghitung berapa banyak penelitian, seminar, yang diadakan sebagai respon terhadap perubahan sosial tersebut, dan sudah tentu diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial itu sendiri. Telah begitu banyak ide-ide yang diproduksi, namun begitu sedikit hasil yang didapat.

Sebagian ahli berpendapat (terutama mereka yang memiliki latar belakang ilmu sosial kritis), kurang maksimalnya peran ilmu sosial di Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial di Indonesia bersumber dari mindset dan paradigma keilmuan yang tak peka terhadap dinamika realitas. Paradigma positivisme abad ke-19 masih menjiwai pengembangan ilmu-ilmu sosial hingga hari ini, baik pada tataran perspektif maupun metodologis. Teori-teori diberhalakan dan metodologi disakralkan. Upaya-upaya penyelesaian masalah sosial tidak diberangkatkan dari refleksi mendalam atas masalah itu sendiri, tetapi justru diringkus dan ditundukkan dengan perspektif teoritik dan metodologi tertentu. Ironisnya, kepasifan ilmu sosial itu justru dianggap sebagai bentuk ideal dari peran yang semestinya dijalanakan ilmu sosial itu sendiri. Padahal, kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, watak transformatf ilmu sosial akan menguap dan sudah bisa dipastikan dirinya tidak lagi mampu berperan sebagai problem solver.

Menyitir pendapat Mestika Zeid, sejarawan yang terkenal cukup kritis, mangkirnya ilmu sosial dalam urun rembug penyelesaian masalah-masalah sosial di Indonesia lebih dikarenakan paradigma yang digunakannya sudah kelewat uzur. Asal-usul dan perkembangan ilmu sosial modern di Indonesia sebetulnya tidak jauh lebih muda jika dibandingkan dengan ilmu eksakta, terutama jika dilihat dari sejarah institusi di mana ilmu pengetahuan itu dikonstruksikan dan disebarluaskan.

Adalah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wtenschappen, yaitu semacam asosiasi seni dan ilmu pengetahuan tertua yang didirikan kolonial Belanda di Batavia pada 24 April 1778 biasanya dirujuk sebagai cikal-bakal lahirnya kajian ilmu sosial di Hindia-Belanda yang kemudian melahirkan apa yang disebut indologie (ilmu yang mempelajari kehidupan sosial masyarakat jajahan). Di lembaga ini beberapa cendikiawan Belanda berhimpun untuk mengadakan tukar-menukar gagasan dalam bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan guna menghasilkan karya-karya praktis yang segera dapat diraih manfaatnya bagi masyarakat. Selanjutnya, riset-riset intensif dilakukan pada abad ke-19, di samping menerbitkan jurnal-jurnal ilmiah di bidangnya.

Namun dalam perkembangannya, telah terjadi proses belajar yang salah dari bangsa Indonesia dalam memposisikan warisan keilmuan penjajah yang notabene digunakan untuk menyumbat daya kritis masyarakat tersebut. Warisan keilmuan penjajah itu justru disucikan sampai sekarang. Ilmu sosial yang berkembang di Indonesia kemudian mengisolasi diri dan tidak memiliki keberpihakan pada masyarakat, sehingga problem-problem kemasyarakatan seperti kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan lain-lain luput dari perhatian ilmu sosial.

Melengkapi pernyataan di atas, kondisi yang turut melenyapkan kritisisme dalam kajian ilmu sosial di Indonesia tidak lain adalah tradisi keilmuan Barat, hasil wacana methodenstreit di Eropa abad ke-19, yang masuk ke Indonesia melalui jaringan-jaringan akademik dan politik Amerika Serikat setelah kemerdekaan, yang secara arbriter disebut ilmu sosial developmentalism. Baik indologie (atau proto-ilmu sosial) maupun ilmu sosial developmentalism sejak semula mirip dengan apa yang disebut Ignas Kleden sebagai “ilmu milik negara” karena wataknya yang sangat bersifat negara-sentris. Jika yang pertama adalah untuk kepentingan administrasi negara kolonial, maka yang kedua adalah negara merdeka yang sedang giat melakukan pembangunan.

Peran ilmu sosial

Ilmu sosial di Indonesia sejauh ini terkesan hanya menunjukkan peran normatifnya saja. Artinya, ilmu sosial itu sedapat mungkin harus memosisikan dirinya secara netral di tengah hiruk-pikuk masalah sosial-kemasyarakatan. Kalaupun harus terlibat dalam proses memahami masalah-masalah sosial tersebut, itu tidak berarti ilmu sosial dapat segera beranjak dari kecenderungannya yang hanya mengidentifikasi dan mendeskripsikan realitas an sich. Padahal, dalam kondisi masyarakat yang sedang dirundung keterpurukan seperti sekarang ini, ilmu sosial seharusnya mampu menunjukkan fungsi praktis-transformatifnya, yaitu bagaimana ia mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah-masalah sosial seperti konflik sosial, krisis ekonomi, kemiskinan, kepadatan penduduk, dan sebagainya.

Dalam buku masyhur yang berjudul Knowledge and Human Interest (1972), filosof Jerman, Jurgen Habermas, menyatakan bahwa pengetahuan yang diproduksi manusia selalu berhubungan dengan epistemologi tertentu—atau semacam cara berpikir yang terkait dengan kegiatan memahami dunia yang syarat akan kepentingan. Dengan demikian, kalaupun epistemologi ilmu sosial yang terlanjur berkembang sampai sekarang ini masih didominasi oleh paradigma positivisme, itu tidak berarti ilmu sosial tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan corak epistemologi lainnya, sebut saja yang bercorak transformatif-emansipatoris—asalkan kepentingan yang dipanggul oleh ilmu sosial senantiasa terkait dengan agenda-agenda pemecahan masalah sosial-kemasyarakatan. Tentang epistemologi yang bercorak transformatif-emansipatoris sepertinya tidak dapat ditawar-tawar lagi karena dapat melahirkan corak pengetahuan yang kritis-reflektif. Pengetahuan kritis-reflektif yang dijiwai hasrat emansipatoris akan memampukan manusia untuk menelanjangi selubung penindasan, baik yang bersifat fisik, kesadaran maupun struktural, sehingga dia sadar betul tentang kebutuhan dan tata-dunia yang adil baginya.

Melanjutkan logika Habermas, semestinya spirit pengembangan ilmu sosial di Indonesia dilandasi oleh corak epistemologi yang kritis sehingga produk ilmu yang dihasilkannya bersifat emansipatoris dan peka realitas—terlebih lagi dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sampai sekarang ini masih kerap dijumpai praktek-praktek penindasan, baik yang vulgar maupun terselubung. Untuk itu, bukan sekedar ilmu sosial yang mampu mendiskripsikan fakta-fakta secara detail saja yang dibutuhkan masyarakat Indoensia, tetapi ilmu sosial yang mampu membimbing masyarakat untuk segera bangkit dari jurang keterpurukan.

Jauh-jauh hari, Bung Hatta sebenarnya telah mewanti-wanti kita semua dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) pada tahun 1956, bahwa tugas ilmu sosial adalah ikut memikirkan bagaimana mestinya keadilan sosial itu diwujudkan, dan juga menggulirkan wacana kritis (critical discourse) agar masyarakat terberdayakan. Setelah sekian lama dilupakan oleh para ilmuwan sosial Indonesia, pesan bung Hatta tersebut seolah-olah menemukan momentumnya kembali, terlebih lagi dalam kondisi bangsa yang karut-marut seperti sekarang ini.

Dalam tataran aksi, wacana ilmu sosial transformatif di atas harus mampu diterjemahkan dalam perangkat metodologi yang juga berpihak pada masyarakat. Logika metodologi yang cenderung berpuas diri setelah menyampaikan fakta sebagaimana adanya tanpa memberikan jalan pemecahan sudah saatnya ditinggalkan. Membangun metodologi yang mampu menyajikan hasil-hasil penelitian yang dapat dimengerti oleh masyarakat adalah tugas ilmuwan sosial yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dengan demikian, haram hukumnya menutup mata bagi para ilmuwan sosial Indonesia di hadapan masalah-masalah sosial yang semakian bejibun dari ke hari. Seorang ilmuwan sudah sepatutnya selalu memicingkan mata dan mengernyitkan dahi ketika konflik sosial, krisis ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, juga kemiskinan, masih bercokol kuat di bumi Indonesia.


Tidak ada komentar: